Siang itu sekitar pukul setengah satu siang, aku berangkat
menuju STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) bersama temanku, Alen, untuk
verifikasi berkas USM STAN. Kami
berangkat dengan menaiki angkutan umum. Udara yang terik saat itu sempat
membuat kami kepanasan dan segera buru-buru mencari angkot selanjutnya untuk
kami naiki. Perjalanan dari rumahku memang cukup jauh dan membuat kami harus
naik angkot 2 kali untuk sampai tujuan. Matahari masih bersinar terang di awal
perjalanan kami dalam angkot kedua. Namun siapa sangka, beberapa menit kemudian
mentari yang bersinar cerah itu kini tertutup awan. Langit perlahan gelap, hujan pun turun. Aku dan Alen sempat beberapa kali pindah tempat duduk dalam
angkot itu karena air hujan yang lumayan deras merembes dan membasahi sebagian
kursi dalam angkot yang kami naiki.
Masih dalam keadaan hujan lebat, kami turun dan berteduh di
emperan toko kecil yang buka tepat di pintu masuk belakang STAN. Kami menunggu
hujan reda ditemani oleh beberapa kecoa yang muncul dari sela-sela got di depan
toko itu. Menjijikkan? Ya! Namun mau tak mau kami harus tetap bersabar menunggu
hujan reda.
Sekitar setengah jam kemudian, hujan pun mereda. Kami berjalan kaki memasuki area kampus STAN
meskipun becek dan sedikit gerimis. Aku berusaha melindungi berkas-berkas untuk
verifikasi nanti supaya tetap kering. Udara dingin, sementara Alen dengan
santainya tetap berjalan sambil memakan snack yang ia beli barusan. Tak berapa
lama kami pun sampai di suatu tempat mirip gazebo yang disebut plasma STAN.
Alangkah terkejutnya aku ketika melihat antrian yang begitu membludak dalam
ruangan itu.
“Mbak, mau verifikasi ya? BPO (Bukti Pendaftaran Online)
–nya dua, ditempel materai.” Seorang ibu-ibu bertubuh gemuk mengatakan padaku,
untunglah aku membawa cadangan BPO satu lagi.
“Materainya dua ya? Yah saya Cuma bawa satu” jawabku.
“Ini mbak saya jual.” Rupanya ibu-ibu tesebut adalah penjual
materai musiman disana. Aku pun membeli materai kepada ibu-ibu tersebut dengan harga
sepuluh ribu rupiah. Kemudian ibu-ibu tersebut membantuku mencarikan antrian.
Dan tadaaaaaa!!!! Aku mendapatkan nomor antrian ke 1943 setelah 15 menit
mengantri dalam ruang plasma yang penuh dengan orang-orang ini.
Setelah mendapat nomor
antrian, aku dan Alen bergegas menuju gedung G untuk verifikasi berkas.
Sayangnya Alen tak boleh masuk ke dalam gedung G dan ia hanya diperkenankan
menunggu di luar gedung. Aku kembali terkejut ketika di dalam gedung G sangat
ramai dan lebih banyak orang dibandingkan dengan di ruang plasma. Aku duduk di
antara para pengantri ini dan aku kembali kaget karena yang dipanggil oleh
panitia verifikasi baru antrian ke 450. Artinya ada sekitar 1500 orang lagi
yang belum dipanggil sebelum antrianku dipanggil. Damn!!
Hari semakin sore. Jika dihitung, sudah sekitar 4 jam aku
menunggu antrian dan masih belum dipanggil juga. Antrian baru berjalan ke angka
1600. Sementara saat itu aku sedang berpuasa. Akhirnya beberapa menit sebelum
adzan maghrib berkumandang, aku segera keluar gedung untuk mencari penjual
makanan. Aku juga mencari Alen, dan kulihat ia sedang bergulat dengan soal UMPN
PNJ tahun lalu yang ia download (FYI,
hari berikutnya aku dan Alen akan mengikuti test UMPN PNJ). Kebetulan ada
penjual makanan di dekat tempat Alen duduk, meskipun makanan yang dijualnya
hanya pop mie dan aqua. Sudahlah! Yang penting makanan... Aku segera melahap pop mie setelah adzan maghrib
berkumandang dan buru-buru kembali menuju gedung G.
Baru beberapa menit aku duduk dan menunggu kembali dalam gedung
G, panitia STAN mempersilahkan para peserta verifikasi untuk sholat maghrib di
belakang gedung G ini. Aku pun keluar gedung dan mencari tempat wudhu yang dimaksud
panitia. Aku sedikit heran karena hanya aku lah satu-satunya perempuan dalam
segerombol peserta yang mencari tempat
wudhu itu. Seperti biasa, laki-laki pantang bertanya ketika ia mencari suatu
tempat. Mau tak mau akhirnya aku bertanya kepada seseorang yang berdiri di
pelataran sebuah gedung yang tak jauh dari gedung G. Sepertinya wanita itu
adalah salah satu staf STAN. Aku melangkahkan kaki menuju wanita tersebut tanpa
mempedulikan segerombol cowok-cowok yang tadi bersamaku mencari tempat wudhu.
“Maaf bu, tempat sholat dimana ya?” tanyaku
“Oh, mbak mau sholat?” tanya wanita itu kembali.
“Iya bu.”
“Sholatnya di lantai dua aja, atau mbak langsung tanya aja
ke pak satpam.” Jawabnya sambil menunjuk ke arah satpam yang berjaga di dalam
gedung itu.
“Oh iya, makasih ya, bu.”
Aku menghampiri pak satpam, kemudian satpam itu menyuruhku menuju musholla di lantai dua.
“Nanti mbak naik lift aja. Trus ke kiri, di paling pojok itu
ada musholla.” Katanya.
Akhirnya aku pun menaiki lift, sendirian. Entah dimana
segerombol peserta lain tadi, mereka tak ada yang mengikutiku memasuki gedung
ini.
Ting... beberapa detik kemudian lift terbuka di lantai dua.
Dan.... tada!!!! Aku terkejut tatkala kulihat pemandangan di lantai dua sedikit
menyeramkan. Lantai ini kosong tanpa lampu yang menyala, sementara aku hanya
seorang diri. Keadaan ini mirip seperti settingan film horor saja. Di
sekeliling yang kulihat hanyalah setumpuk kertas yang tersegel. Aku mempercepat
langkahku menuju pojok gedung ini. Samar-samar terlihat ada nyala lampu kuning
di ujung sana. Ya!! Disana memang ada suatu ruang sholat kecil. Ada 3 pasang
sendal disana. Semoga ada orang yang sholat juga, supaya aku tak benar-benar
sendiri di lantai dua ini. Kulirikkan mataku dan kuliat ada seorang lelaki dan
dua orang perempuan sedang sholat. Syukurlah!
Aku kembali sedikit merasa ngeri, karena seusai sholat, ketiga
orang itu telah meninggalkan tempat ini. Dengan langkah tenang, aku
meninggalkan tempat ini meskipun sebenarnya agak sedikit merasa takut.
Aku kembali ke gedung G dengan perasaan lega. Antrian sudah
berjalan menuju nomor 1800. Dan aku merasa sedikit beruntung, karena ternyata gerombolan peserta lain yang tadi
bersamaku mencari tempat wudhu, sholat di atas panggung!!! What?! Itulah tempat
yang di maksud oleh panitia STAN tadi. Peserta diperkenankan berwudhu di
belakang gedung G, dan menunaikan sholat di atas panggung gedung G. Oh
tidaaak... Untunglah aku sholat di gedung lain tadi. Meskipun sedikit seram,
namun aku tak harus menjadi satu-satunya perempuan yang sholat di atas panggung
itu (karena yang kulihat saat itu hanya ada laki-laki yang menunaikan sholat,
entah dimana perempuannya.)
Waktu menunjukkan pukul 19.38 WIB ketika antrianku
dipanggil. Setelah menerima secarik kertas BPU, aku segera menuju ke pos 3
untuk melakukan pemeriksaan berkas pertama.
“Loh? Kok foto KTP nya gak berhijab?” tanya petugas STAN
itu.
“Iya, bu. Saya baru pakai hijab 6 bulan setelah saya bikin
KTP.” Jawabku dengan tenang.
“Wah, maaf, karena foto KTP kamu berbeda dengan penampilan
sekarang, saya gak bisa meloloskan berkas kamu.” Perkataan petugas itu
membuatku lemas bagai tersambar petir. Bagaimana mungkin? Aku sudah menunggu
hampir 6 jam disini dan harus pulang dengan tangan hampa?
“Yah bu, ini kan namanya nama saya, bu. Ini beneran
identitas saya. Saya udah ngantri lama banget, bu. Masa gak di lolosin cuma
karena foto aja?” Aku berkata dengan nada begitu lemas.
“Saya bisa aja ngelolosin berkas kamu. Tapi kamu pasti bakal
tetep disuruh pulang di pos 5.” Kata wanita itu sambil menunjuk ke arah pos 5,
tempat dilakukannya pemeriksaan berkas kedua.
“Yah bu, terus saya harus gimana?”
“Kamu harus bikin SKCK (Surat Tanda Catatan Kepolisian)
dulu, baru berkas ini bisa lolos.”
“Yah berarti saya harus balik lagi dan ngantri ulang lagi
dong? Yaampun bu, tadi aja udah lama banget. Masa saya harus antri ulang
lagi?.”
“Ini saya kasih kamu antrian khusus. Kamu bisa balik lagi
kesini sebelum tanggal 20. Sekarang kamu lapor dulu kesana.” Wanita itu
menunjuk pada suatu meja, dimana sudah ada dua orang ibu-ibu panitia verifikasi
disana.
“Yaudah makasih, bu.” Aku melangkah menuju meja yang dimaksudnya
itu dan segera melaporkan sebab mengapa berkasku tak lolos verifikasi.
Aku keluar gedung dengan
langkah malas, kemudian segera menghampiri Alen yang masih sibuk dengan soal
PNJ yang ia download.
“Jangan bilang, lo belom selesai verifikasi kayak tadi pas
lo keluar maghrib!” Protesnya.
“Udah! Tapi gagal! Huh! Ka*pret! Mana besok ujian PNJ lagi!
Gue belom belajaaar...!!!” Ucapku.
“Loh? Gagal kenapa?” Tanya Alen.
Kuceritakan kejadian tadi pada Alen sembari kami berjalan
keluar area kampus.
“Sialan banget! Udah capek-capek ditungguin eh malah suruh
balik Cuma karena foto KTP doang, lebay banget dah!” omelnya. “Mana besok ada
ujian PNJ! Harusnya kita lagi fokus belajar nih!”
“Lu masih mending, bidang tata niaga ujiannya siang. Lah
gue? Pagi-pagi harus cuss dari jakbar sampe depok karena saintek ujiannya pagi.
Mana sempet buat belajar lagi? Dan sekarang udah jam 8 malem.” Sahutku.
“Iya nih, paling enggak, jam setengah sepuluh baru sampe
rumah.” Sahut Alen.
Setengah jam berlalu. Kami belum juga menemukan angkot.
Malam mulai larut dan kami mulai resah.
“Jangan-jangan angkotnya udah gak ada.” Alen mulai
menduga-duga.
“Bisa jadi! Gue tanya orang dulu deh ya.”
Ternyata dugaan Alen benar. Jam segini memang tak ada lagi
angkot menuju Ciledug yang beroperasi.
“Aduh, gimana nih? Mau pulang naik apa kita? Mana gue laper
lagi.” Ucapku.
“Iya, nyari tempat makan dulu yuk!.”
Kami pun berjalan dengan mata menengok kanan kiri mencari
tempat makan yang kami maksud. Di sekeliling hanya ada warten. Kami masih terus
berjalan sambil berceloteh.
“Kayaknya kita apes deh! Gini nih kalo pergi pas tanggal 13!
Hari Jumat lagi!.” Alen mulai berceloteh.
“Wah! Bener juga! Ini jumat tanggal 13! Haha gue baru
sadar.”
“iya, gue juga baru sadar. Pantes aja kita apes!”
“Tapi kayaknya gue gak punya tanggal sial deh. Gue malah
pernah seneng pas tanggal 13.
“Iya sih, gue juga. Tapi lo liat dong? Sekarang kita apes
kan di hari jumat tanggal 13? Ini memang hari apes menurut mitos!”
“Wahaha udah tahun 2014, masih percaya mitos aja lo!!”
Setelah merasa capek karena tak kunjung menemukan tempat
makan yg dimaksud. Akhirnya Alen berinisiatif untuk menaiki angkot yang
bertuliskan jurusan Kebayoran.
“ini ke Kebayoran kan bang?” kata Alen memastikan tujuan
angkot ini pada sang supir angkot.
“Iya neng.”
Sekitar jam 9.15 kami sampai di Kebayoran. Aku tak dapat
menghubungi ibuku karena handphoneku lowbatt dan mati. Sementara kami semakin
kelaparan. Aku terus megikuti Alen yang mencari angkot di daerah ini yang
menuju rumahnya. Namun entah apa yang ada di pikirannya, mungkin karena efek
lapar. Alen malah mengajakku makan di suatu restoran cepat saji yang tutup
pukul 10 malam.
“Woi, lu yakin? Duit gue gak cukup nih.” Kataku.
“Elahhh... Slow aja..” Jawabnya santai.
Kami pun memilih paket makanan disana. Dan kejutan pun
kembali terjadi!! Uang kami memang kurang!
“Duh gimana nih?” Raut wajah Alen mulai kebingungan tatkala
makanan yang kami pesan tak dapat dibatalkan lagi.
“Lagian... lu sih! Kan gue udah bilang, duit gue gak cukup.”
“Lagian... lu sih! Kan gue udah bilang, duit gue gak cukup.”
“Kirain duit lu masih 20ribuan, taunya tinggal 7ribu.”
Kami terus memutar otak. Sementara aku juga sibuk
mengubek-ubek tasku, berharap ada uang yang terselip.
“Ah!! ATM Len! ATM!!” Aku menepuk pundak Alen.
“Oh iya, gue gak kepikiran kalo bawa ATM.”
“Mbak kita mau keluar cari ATM dulu ya.” Kami langsung
melangkah keluar karena kami tak mungkin membayar memakai debet, saldo Alen
saat itu sedang gersang terkena dampak kemarau yang berkepanjangan(?)
Di sebelah restoran cepat saji itu, kami menemukan mesin ATM, namun kami tak dapat melakukan tarik tunai disana karena uang yang dikeluarkan oleh mesin ATM itu adalah uang pecahan 100ribu.
"Kita cari mesin ATM yang lain aja yuk! Bialng aja sama mbaknya kalo kita gak bisa tarik tunai disini karena disini ATM Syariah." Usulku ketika melihat raut wajah Alen yang semakin kebingungan.
"Yaudah yuk!"
Kami kembali bejalan bahkan Alen sampai berlari karena tak
kunjung menemukan mesin ATM pecahan 50ribu. Sementara hari semakin larut dan perut kami semakin keroncongan.
"Gue berasa kayak gembel deh sekarang."
"Gue berasa kayak gembel deh sekarang."
"Duh gimana nih, fi? Gue bingung dah." Sahut Alen sambil celingak celinguk.
"Ih sama, gue juga bingung."
Di tengah-tengah pencarian mesin ATM itu, tiba-tiba muncul ide gila yang entah kenapa bisa diungkapkan oleh Alen.
"Aha! Gue punya ide! Gimana kalo kita minta duit sama orang aja?" ide gila Alen sungguh membuatku kaget sekaligus geli. Aku tak dapat menahan tawaku saat itu juga.
"Hahahaha....." Aku tertawa terbahak-bahak. "Gila lu, Len!"
"Ih seriusan.. dulu aja gue pernah di mintain duit sama orang gak dikenal yg keadaannya lagi kayak kita sekarang." sahutnya.
"Ogah ah, udah mending kita lanjut cari mesin ATMnya."
Setelah lumayan jauh, akhirnya kami pun menemukan mesin ATM pecahan 50ribu. Kami kembali menuju restoran itu sambil sesekali
berlari karena waktu menunjukkan pukul 9.45. Sebentar lagi restoran cepat saji itu tutup.
Kami pun melahap makanan dengan secepat kilat sambil
mengawasi jalan raya, memastikan ada angkot yang beroperasi. Tak lama kemudian
kami keluar dan langsung menemukan angkot.
“Huh! Akhirnya ada angkot ke rumah gue juga!” Kata Alen
lega.
“Kita apes banget ya! Gue rasa kita udah gak bisa lebih apes
lagi. Ini udah mentok apesnya.” Sahutku sekenanya.
“Iya nih...”
Jeng jeng jeenggg.... Pernyataanku salah! Tak berapa lama
kemudian Alen memberhentikan angkot yang kami naiki karena kami salah naik
angkot.
“Harusnya kita naik angkot 09A, tadi itu 09.”
“loh bukannya sama-sama
09?.” Aku masih bungung.
“ih 09 sama 09A itu beda!” Sahut Alen.
Finally, kami menunggu angkot lain. Alen pun mengajakku naik
metromini dan kami berhenti di suatu gang. Kata Alen, kami dapat sampai ke
rumahnya dengan menyusuri gang ini meskipun lumayan jauh.
Sekitar pukul 10.15 kami sampai di rumah Alen. Aku
beristirahat sebentar melepas penat. Kaki ku terasa seperti mau copot dan aku
merasa sangat kumal sekali. Beberapa menit kemudian Alen mengeluarkan motornya
dan mengantarku pulang. Di perjalanan aku berdoa, supaya tak ada lagi kesialan
yang akan kami alami.
Di depan gang rumahku terlihat ibuku yang menunggu aku
pulang dengan cemas. Ia sangat berterima kasih kepada Alen yang mengantarku
pulang.
“Mama kan nyuruh kamu naik taksi, ntar mama yang abyar
ongkosnya. Makanya dari tadi mama nunggu di depan gang.” Kata ibuku.
“Aku gak tau, ma. Handphone ku mati.” Jawabku.
Waktu menunjukkan hampir pukul sebelas malam ketika aku
benar-benar sampai di rumah. Kuceritakan semua kesialan yang kualami bersama
Alen kepada ibuku seusai mencuci kaki. Ibuku hanya tersenyum dan bersyukur
karena anaknya ini sampai di rumah dengan selamat.
Yap!! Kisah ini hanya sepenggal cerita dalam berburu kampus negeri ataupun kedinasan, sepucuk
cerita persahabatan penuh warna. Mengenai hubungannya dengan hari Jumat maupun
tanggal 13? Entahlah! Kupikir itu hanya suatu kebetulan saja :D
Alen? seems familiar wkwkwkwk. yang penting akhirnya dapet kan :D
BalasHapusWahaha you know who is she lah pastinya hahaha. Iya dapet setelah perjuangan yg panjang dan melelahkan :')
HapusWkwkwk gue baru baca. Aleeeenn. Haha
BalasHapus